
Dalam beberapa hari pertama setelah cedera otak traumatis (TBI), makanan sering menjadi renungan karena dokter berfokus untuk meminimalkan kerusakan otak. Namun, sebuah studi baru menunjukkan bahwa mendapatkan kalori yang cukup dapat membantu meningkatkan proses penyembuhan otak, menjadikan nutrisi sebagai pertimbangan penting untuk meningkatkan perawatan TBI. Para peneliti akan mempresentasikan karya mereka minggu ini di American Physiology Summit, pertemuan tahunan utama American Physiological Society (APS), di Long Beach, California.
Bukti ini menyoroti pentingnya memastikan nutrisi yang tepat untuk pasien TBI selama pemulihan. Secara khusus, formulasi yang mengandung bahan bakar yang disukai otak, seperti laktat, harus diprioritaskan selama fase pemulihan akut dan kronis dari TBI.”
Casey C. Curl, Kandidat Doktor, Laboratorium Fisiologi Latihan, University of California, Berkeley
Ketika seseorang datang ke rumah sakit dengan cedera otak traumatis, banyak pasien pergi selama beberapa hari tanpa makan atau bahkan menerima nutrisi melalui selang atau infus. Meski begitu, alat yang digunakan dokter untuk menghitung kebutuhan nutrisi pasien tidak dirancang untuk keadaan khusus cedera otak, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pasien TBI mendapatkan kalori jauh lebih sedikit daripada yang mereka butuhkan.
Kunci penelitian ini adalah biomarker baru yang dikembangkan tim untuk menilai status gizi. Meskipun dimungkinkan untuk mengukur jumlah kalori yang dikonsumsi seseorang, mengukur apakah jumlah kalori yang diberikan kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan energinya lebih kompleks. Untuk mengisi celah ini, para peneliti menciptakan cara untuk mengukur jumlah glukosa yang diproduksi secara internal saat tubuh memproses input energi. Metrik ini, disebut glukoneogenesis fraksional, berkisar dari nol (makan penuh) hingga 100% (kurang makan drastis).
Untuk penelitian tersebut, para peneliti melacak bagaimana status gizi mempengaruhi glukoneogenesis fraksional dan sintesis protein pada model tikus TBI. Mereka menggunakan deuterium oksida, juga dikenal sebagai air berat, sebagai pelacak untuk menilai glukoneogenesis fraksional dan sintesis protein di berbagai bagian otak dan tubuh. Dengan membandingkan dinamika ini pada tikus dengan berbagai tingkat asupan kalori, mereka dapat memperoleh wawasan tentang bagaimana nutrisi memengaruhi proses penyembuhan otak.
“Studi kami menemukan bahwa setelah TBI, otak merespons secara tidak normal dengan meningkatkan sintesis protein di bagian otak yang lebih tinggi sementara menurunkannya di bagian bawah,” kata Curl.
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa kekurangan makan menyebabkan berkurangnya sintesis protein pada otot rangka dan sel hati. Temuan baru menunjukkan hal serupa terjadi di otak. “Memahami penurunan pergantian protein selama proses penyembuhan otak sangat penting karena defisit kalori dapat memengaruhi kemampuan pasien untuk sembuh dari cederanya,” kata Curl.
Temuan menunjukkan bahwa memberikan nutrisi yang cukup setelah cedera otak traumatis dapat membantu otak memproduksi protein yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan, tanpa harus memprioritaskan daerah otak tertentu di atas yang lain.
Selain memberi makan pasien lebih cepat sebagai bagian dari praktik rutin, Curl mencatat bahwa dokter dapat menggunakan glukoneogenesis fraksional sebagai metrik praktis untuk menilai apakah pasien mendapatkan cukup kalori selama pengobatan dan pemulihan TBI.
Penelitian ini didanai oleh hibah dari konferensi PAC-12.
Sumber:
Masyarakat Fisiologi Amerika (APS)